Abstrak: Salah satu tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak siswa kelas V SDN 2 Penimbung yang tidak cakap berbicara. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan teknik bermain peran dalam pembelajaran. Dengan teknik ini siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajarannya, dan kualitas hasil belajar mereka dapat ditingkatkan sehingga memperoleh hasil yang maksimal.
Kata kunci: peningkatan, ketrampilan berbicara, teknik bermain peran.
Kata kunci: peningkatan, ketrampilan berbicara, teknik bermain peran.
Dalam keterampilan berbahasa terbagi menjadi empat, yaitu: keterampilan menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara.
Arsjad dan Mukti (1991:1), menyatakan bahwa dari kenyataan berbahasa, seseorang lebih banyak berkomunikasi secara lisan dibandingkan dengan cara lain. Dalam kehidupan sehari-hari lebih dari separuh waktu digunakan untuk berbicara dan mendengarkan.
Salah satu standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa SD kelas V adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama (Departemen Pendidikan nasional, 2006). Standar kompetensi ini terbagi dalam dua kompetensi dasar yang salah satunya adalah memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, siswa diajak untuk memerankan tokoh, berekspresi sesuai dengan karakter tokoh dalam teks cerita, dan berani berbicara di depan umum yang ditampilkan dalam bentuk karya sastra yaitu drama.
Arsjad dan Mukti (1991:1), menyatakan bahwa dari kenyataan berbahasa, seseorang lebih banyak berkomunikasi secara lisan dibandingkan dengan cara lain. Dalam kehidupan sehari-hari lebih dari separuh waktu digunakan untuk berbicara dan mendengarkan.
Salah satu standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa SD kelas V adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama (Departemen Pendidikan nasional, 2006). Standar kompetensi ini terbagi dalam dua kompetensi dasar yang salah satunya adalah memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, siswa diajak untuk memerankan tokoh, berekspresi sesuai dengan karakter tokoh dalam teks cerita, dan berani berbicara di depan umum yang ditampilkan dalam bentuk karya sastra yaitu drama.
Berbicara merupakan salah satu keterampilan sastra yang harus dicapai siswa karena siswa akan memperoleh banyak manfaat dari kegiatan berbicara tersebut, antara lain siswa dapat mengekspresikan perannya melalui gerak, mimik, dan gesture sesuai dengan karakter tokoh yang diperankan.
Berbicara merupakan salah satu kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kamus linguistik (Kridalaksana, 1982) berbicara (wicara) diartikan sebagai perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berdasarkan definisi kamus ini, berbicara atau wicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif lisan.
Menurut Zahroh dan Sulistyorini (2010:82), untuk menghasilkan tuturan yang baik, pembicara atau pewicara dituntut mengikuti aturan berbicara, di samping menguasai komponen-komponen yang terlibat dalam kegiatan berbicara atau wicara, antara lain penguasaan aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan. Aspek-aspek tersebut meliputi lafal, tatabahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman.
Drama adalah komposisi prosa yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan. Dalam pembelajaran sastra, keterampilan berbicara khususnya drama dapat dilakukan dengan bermain peran. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara, siswa masih banyak mengalami kesulitan.Hambatan lain yang dialami siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara, khususnya bermain peran (drama) adalah kurangnya semangat mereka dalam bermain peran akibat metode pembelajaran yang digunakan guru masih kurang menarik bagi siswa.Kondisi tersebut juga terjadi di SDN 2 Penimbung Kabupaten Lombok Barat. Hasil observasi di lapangan juga menunjukkan fenomena bahwa keterampilan berbicara siswa SDN 2 Penimbung Lombok Barat berada pada tingkat yang rendah pada aspek isi pembicaraan, penggunaan bahasa, dan performansi.
Berbicara merupakan salah satu kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kamus linguistik (Kridalaksana, 1982) berbicara (wicara) diartikan sebagai perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berdasarkan definisi kamus ini, berbicara atau wicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif lisan.
Menurut Zahroh dan Sulistyorini (2010:82), untuk menghasilkan tuturan yang baik, pembicara atau pewicara dituntut mengikuti aturan berbicara, di samping menguasai komponen-komponen yang terlibat dalam kegiatan berbicara atau wicara, antara lain penguasaan aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan. Aspek-aspek tersebut meliputi lafal, tatabahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman.
Drama adalah komposisi prosa yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan. Dalam pembelajaran sastra, keterampilan berbicara khususnya drama dapat dilakukan dengan bermain peran. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara, siswa masih banyak mengalami kesulitan.Hambatan lain yang dialami siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara, khususnya bermain peran (drama) adalah kurangnya semangat mereka dalam bermain peran akibat metode pembelajaran yang digunakan guru masih kurang menarik bagi siswa.Kondisi tersebut juga terjadi di SDN 2 Penimbung Kabupaten Lombok Barat. Hasil observasi di lapangan juga menunjukkan fenomena bahwa keterampilan berbicara siswa SDN 2 Penimbung Lombok Barat berada pada tingkat yang rendah pada aspek isi pembicaraan, penggunaan bahasa, dan performansi.
Berdasarkan uraian serta hasil temuan penelitian di atas, maka diperlukan metode pembelajaran yang kreatif, efektif, dan menyenangkan agar siswa lebih bersemangat dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Salah satu strategi digunakan dalam bermain peran (drama) adalah strategi cooperatif learning.
Metode bermain peran dapat digunakan untuk menciptakan suasana pembelajaran inovatif. Kompetensi yang dikembangkan melalui metode ini antara lain kompetensi bekerjasama, berkomunikasi, tanggung jawab, toleransi, dan menginterpretasikan suatu kejadian (Pratiwi, 2009).
Dengan adanya penelitian untuk meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara menggunakan teknik bermain peran ini, diharapkan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN 2 Penimbung Lombok Barat lebih meningkat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian tentang penggunaan teknik bermain peran untuk meningkatkan kemampuan berbicara bagi siswa SD kelas V khususnya.
Metode bermain peran dapat digunakan untuk menciptakan suasana pembelajaran inovatif. Kompetensi yang dikembangkan melalui metode ini antara lain kompetensi bekerjasama, berkomunikasi, tanggung jawab, toleransi, dan menginterpretasikan suatu kejadian (Pratiwi, 2009).
Dengan adanya penelitian untuk meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara menggunakan teknik bermain peran ini, diharapkan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN 2 Penimbung Lombok Barat lebih meningkat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian tentang penggunaan teknik bermain peran untuk meningkatkan kemampuan berbicara bagi siswa SD kelas V khususnya.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Model rancangan penelitian tindakan kelas yang digunakan adalah model rancangan yang dikembangkan oleh Kemmis dan McTaggart (1992). Model ini mengikuti alur yang terdiri dari 4 komponen pokok, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Permasalahan yang diteliti teridentifikasi ketika peneliti melaksanakan pembelajaran, karena peneliti adalah guru kelas pada kelas yang diteliti. Berdasarkan permasalahan hasil temuan tersebut disusun rencana tindakan siklus I yang diwujudkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RRP I).
Selanjutnya tindakan siklus I itu diaplikasikan dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran yang nyata di kelas dengan melibatkan teman sejawat sebagai observer dan peneliti bertindak sebagai guru model.
Subjek penelitian adalah siswa kelas V (lima) SDN 2 Penimbung Lombok Barat. Tindakan kelas yang berupa teknik bermain peran dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, selama semester I tahun pelajaran 2010/2011.
Subjek penelitian adalah siswa kelas V (lima) SDN 2 Penimbung Lombok Barat. Tindakan kelas yang berupa teknik bermain peran dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, selama semester I tahun pelajaran 2010/2011.
HASIL
Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilakukan dalam dua kali pertemuan. Adapun tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SDN 2 Penimbung Lombok Barat dalam keterampilan berbicara melalui teknik bermain peran.
Kegitan pelaksanaan pembelajaran pada siklus I dilakukan dua kali pertemuan. Masing-masing pertemuan selama dua jam pelajaran (2x35 menit).Pada siklus I keterlibatan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas relatif dominan mengingat siswa yang diajar adalah siswa kelas V SD dan belum terbiasa belajar dengan teknik bermain peran. Guru menyiapkan skenario dialog untuk setiap kelompok. Setelah kegiatan bermain peran pada pertemuan kedua siklus I dilakukan refleksi antar kelompok untuk mengomentari penampilan dari kelompok lain. Penilaian dilakukan pada saat siswa melakukan latihan pemantapan perannya masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan penutup merupakan refleksi dari pembelajaran yang telah dilaksanakan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa, manfaat pembelajaran yang diperoleh dan perencanaan kegiatan tindak lanjut.Berdasarkan hasil pembelajaran siklus I, belum menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga perlu tindakan siklus II. Hasil rekapitulasi nilai evaluasi proses dalam siklus I menunjukkan bahwa pada umumnya siswa dari tingkat kemampuan akademik rendah memperoleh skor di bawah 50. Sepuluh skor tertinggi didominasi oleh siswa dari tingkat kemampuan akademik tinggi. Semetara siswa dari tingkat kemampuan akademik menengah menempati posisi medium. Skor terendah 40 diperoleh siswa dari kelompok berkemampuan akademik rendah, sedangkan skor tertinggi 80 diperoleh siswa dari kelompok kemampuan akademik tinggi. Dari hasil perbandingan antara pengamatan terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa yang memperoleh skor minimal tersebut adalah siswa yang tidak aktif dalam kegiatan bermain peran. Sementara dari tingkat kemampuan akademik menengah maupun tinggi yang serius mengikuti pembelajaran pada umumnya mendapat skor tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan pada siklus I belum berhasil sehingga perlu dilakukan tindakan siklus II.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan penutup merupakan refleksi dari pembelajaran yang telah dilaksanakan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa, manfaat pembelajaran yang diperoleh dan perencanaan kegiatan tindak lanjut.Berdasarkan hasil pembelajaran siklus I, belum menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga perlu tindakan siklus II. Hasil rekapitulasi nilai evaluasi proses dalam siklus I menunjukkan bahwa pada umumnya siswa dari tingkat kemampuan akademik rendah memperoleh skor di bawah 50. Sepuluh skor tertinggi didominasi oleh siswa dari tingkat kemampuan akademik tinggi. Semetara siswa dari tingkat kemampuan akademik menengah menempati posisi medium. Skor terendah 40 diperoleh siswa dari kelompok berkemampuan akademik rendah, sedangkan skor tertinggi 80 diperoleh siswa dari kelompok kemampuan akademik tinggi. Dari hasil perbandingan antara pengamatan terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa yang memperoleh skor minimal tersebut adalah siswa yang tidak aktif dalam kegiatan bermain peran. Sementara dari tingkat kemampuan akademik menengah maupun tinggi yang serius mengikuti pembelajaran pada umumnya mendapat skor tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan pada siklus I belum berhasil sehingga perlu dilakukan tindakan siklus II.
Hasil Pelaksanaan Siklus II
Secara umum prosedur pelaksanaan tindakan siklus II ini sama dengan prosedur pada siklus I. Perbedaannya, dalam siklus II ini keterlibatan guru pada kegiatan pembelajaran di kelas dikurangi mengingat siswa yang diajar mulai terbiasa belajar dengan teknik bermain peran.
Hasil rekapitulasi nilai evaluasi produk akhir dalam siklus II menunjukkan bahwa sudah ada peningkatan pada seluruh siswa. Skor terendah 60,5 masih diperoleh siswa pada kelompok kemampuan akademik rendah, dan skor tertinggi 90 masih diperoleh oleh kelompok kemampuan akademik tinggi. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan skor yang signifikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembelajaran dalam siklus II ini hampir seluruh siswa aktif mengikuti pembelajaran. Hal ini berdampak pada kualitas hasil belajar siswa tentang keterampilan berbicara.
Hasil rekapitulasi nilai evaluasi produk akhir dalam siklus II menunjukkan bahwa sudah ada peningkatan pada seluruh siswa. Skor terendah 60,5 masih diperoleh siswa pada kelompok kemampuan akademik rendah, dan skor tertinggi 90 masih diperoleh oleh kelompok kemampuan akademik tinggi. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan skor yang signifikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembelajaran dalam siklus II ini hampir seluruh siswa aktif mengikuti pembelajaran. Hal ini berdampak pada kualitas hasil belajar siswa tentang keterampilan berbicara.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap produk akhir dalam siswa kelas V yang menunjukkan bahwa siswa kelas V SDN 2 Penimbung Lombok Barat masih mengalami kesulitan dalam keterampilan berbicara, maka dirancang tindakan sebagai upaya meningkatkan kemampuan berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran. Dalam penelitian ini dilakukan dua tindakan, yaitu tindakan siklus I dan tindakan siklus II. Dalam siklus II keterlibatan guru pada kegiatan pembelajaran di kelas dikurangi mengingat siswa yang diajar mulai terbiasa belajar dengan teknik bermain peran. Hasil rekapitulasi nilai evaluasi produk akhir dalam siklus II menunjukkan bahwa ada peningkatan pada tingkat akademik. Skor terendah 60,5 masih diperoleh oleh siswa pada kelompok kemampuan akademik rendah, dan skor tertinggi 90 masih diperoleh kemampuan akademik tinggi. Hal itu menunjukkan adanya peningkatan skor yang signifikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penggunaan teknik bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelasV SDN 2 Penimbung Lombok Barat. Peningkatan tersebut terdapat pada aspek proses dan hasil pembelajaran.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN 2 Penimbung Lombok Barat. Secara rinci keberhasilan penerapan teknik bermain peran dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN 2 Penimbung sebagai berikut: (1) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspek isi, (2) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspek-aspek penggunaan bahasa, dan (3) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspek performansi.
SARAN
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya aspek berbicara hendaknya guru menggunakan pembelajaran dengan teknik bermain peran. Teknik bermain peran sangat cocok untuk pembelajaran bahasa Indonesia terutama aspek berbahasa lisan.
DAFTAR RUJUKAN
Arsjad , Midar.G dan Mukti1 991. Pembinaan Kemampuan Berbicara bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum 2006, Standar Kompetensi Mata pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kemmis,S. &Taggart,M.C. 1992. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University Press.
Pratiwi, Yuni. 2009. Penerapan Strategi bermain Peran dalam Pembelajaran di taman Kanak-Kanak. Makalah Disajikan dalam Lokakarya Pembelajaran untuk Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina, Malang, 12 September.
Tarigan, H.G. 2002. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Zahroh dan Sulistorini. 2010. Strategi Kooperatif dalam Pembelajaran Menyimak Berbicara Malang: Asah Asih Asuh (A3).
Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kemmis,S. &Taggart,M.C. 1992. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University Press.
Pratiwi, Yuni. 2009. Penerapan Strategi bermain Peran dalam Pembelajaran di taman Kanak-Kanak. Makalah Disajikan dalam Lokakarya Pembelajaran untuk Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina, Malang, 12 September.
Tarigan, H.G. 2002. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Zahroh dan Sulistorini. 2010. Strategi Kooperatif dalam Pembelajaran Menyimak Berbicara Malang: Asah Asih Asuh (A3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dan tidak melakukan komentar sara
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.