INDAHNYA JIKA SALING BERBAGI, MERIAHNYA JIKA SALING MEMBERI,DAN MANISNYA JIKA SALING MENGHARGAI

Mengenai Saya

Foto saya
sederhana dan kerja keras

Entri Populer

Kamis, 03 Februari 2011

Anakku Harapanku

Sudirman, S.Pd.

        “Nak, kenapa kamu berjemur ini kan masih pagi”, tanyaku ketika melihatnya berdiri sendirian. Lalu aku melanjutkan pertanyaanku, “Kamu kedinginan ?”
        “Ma…maaf pak, pakaian saya basah”, jawabnya ketakutan.
        Tidak seperti biasanya marah-marah, lalu menghukum kini aku tersenyum bersahabat layaknya orang tua terhadap anak-anaknya. Sambil menggandengnya menuju tempat yang aman dari matahari. Tempat ini biasa aku gunakan jika murid-muridku ada masalah dengan pelajaran. Kuusapkan peluh yang membasahi badannya. Ia pun tersenyum rasa takut pada dirinya seketika hilang saat pundaknya terus kupegang. Aku merasa hari ini bersama sahabat kecilku. Rusli, begitulah ia dipanggil. Ia salah satu murid kelas I.
        “Usai sekolah nanti pak guru tunggu di ruang  guru”, pintaku. “Sekarang kamu ikuti pelajaran   dulu”, sambungku sambil bergegas masuk kelas.
         “Ya…. Pak”, jawabnya bangga lalu berlari menuju ruang kelasnya.
        Ia pun mengikuti pelajaran seperti biasanya. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 10.30. waktu bagi kelas I untuk siap-siap meninggalkan sekolah. Tak seberapa lama bel tanda pulang sudah terdengar, beberapa murid berteriak, bersorak kegirangan. Ada yang lari sambil berjingkrak-jingkrak, ada pula yang berhamburan menyerbu penjaja makanan dan ada pula yang menangis sambil mencari orang tuanya yang belum juga kunjung tiba menjemput. Ditengah hiruk pikuk siswa kelas I pulang sekolah. Rusli dengan hati-hati menghapiriku.
        “Kemarilah… jangan takut”, aku tersenyum mengajaknya duduk. 
       Ia tampaknya bingung dan takut karena kebiasaanku yang selalu ditakuti siswa. Dalam pancaran matanya terlihat ada rasa bersalah yang tadinya pernah ia lakukan. Aku pun spontan berseloroh menggodanya agar ia bisa tersenyum. 
       “Nak…, ada yang ingin bapak tanyakan”, pintaku. Aku lanjutkan pertanyaanku, “Pak guru melihat setiap  sampai sekolah, selalu mencari tempat untuk berjemur kenapa?” tanyaku tak mengerti.
Dengan hati-hati ia menjawab, 
        “Celana saya selalu basah, kena semak dan ilalang”. Aku kaget luar biasa,karena sepengetahuanku murid-muridku tempat tinggalnya tak jauh dari lingkungan sekolah. Aku semakin penasaran. “Coba ceritakan kenapa sampai ini terjadi”, tanyaku lagi. Ia mulai bercerita     bahwa setiap pagi ia berangkat sekolah seorang diri seusai sholat subuh karena rumahnya berada jauh di balik perbukitan. Ia menempuh sekolah dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak menembus semak belukar  dan rumput ilalang. Karena tekadnya mencari ilmu ia nekat menembus halangan dan rintangan tanpa rasa takut dibenaknya. Ia tetap tegar menjalaninya, demi baktinya kepada kedua orang tuanya.Aku sempat menghayal, andai aku bepergian di pagi buta tanpa ada teman mungkin aku tak sanggup rasa takut pasti mengikutiku.
        Aku terperanjat mendengar ceritanya, pikiranku mulai terbuka. Aku sadar bahwa embun pagi belum mau meninggalkan pepohonan, titik-titik air embun masih melekat di atas dedaunan. Wajar saja setiap pagi pakaian di tubuh Rusli selalu basah. Aku tertegun pikiranku mulai mengingat-ingat kejadian yang pernah aku lakukan terhadapnya. Menghukum tanpa ingin tahu penjelasan siswa walau aku tahu bahwa Rusli adalah murid yang paling rajin diantara teman sekelasnya. Rasa bersalah terus terngiang. Saat kesedihanku menghujamku tiba-tiba suara pria mengucapkan salam.
         “Assalamu'alaikum!”  Akupun   menjawabnya
         “Wa'alaikumsalam”. Lelaki separuh baya ini langsung ku persilahkan masuk. Aku mulai menceritakan permasalahan yang terjadi, sambil mengamini lelaki separuh baya ini menceritakan keadaan keluarganya sebagai peladang miskin. 
        “Sebagai orang tua, saya berharap Rusli tetap sekolah”, harapannya. Ia terdiam lalu melanjutkan kata-katanya, 
       “Tapi saya tidak mampu menghidupinya!” Lelaki ini tertunduk sedih, matanya berbinar sesekali meneteskan air mata, Rusli pun turut sedih dan menangis meski suaranya tak terdengar tapi ia mengerti maksud orang tuanya. Lelaki ini melanjutkan kata-katanya, 
        “Mulai hari ini, saya serahkan Rusli kepada pak guru!” dengan berat hati. 
        “Jadikanlah ia menjadi anak bapak, biarkan Rusli melupakan saya sampai kapanpun!” pintanya.
        “Saya rela demi keinginan dan cita-citanya”, harapnya  sedih. Sambil memegang tangan Rusli, 
        “Sekali lagi saya berikan Rusli kepada bapak sebagai anak sendiri!” ini kata terakhir yang diucapkannya. Sayapun mengangguk dan mengiakan menerima amanah yang akan aku panggul.
        Kini hari bulan dan tahun terus berjalan hari-hariku kujalani bersama Rusli sebagai anakku sendiri. Sementara istriku sudah lama meninggal. Ia sebagai anak lelaki tertua yang selalu membimbing dan menjaga adik-adiknya hingga akhirnya Rusli  menyelesaikan pendidikan dan menyandang sarjana. Bahagia luar biasa yang aku dapatkan. Anak yang taat beribadah, dan bakti kepada keluarga itu merupakan penghargaan yang aku dapatkan darinya. Kini umurku sudah mencapai masa pensiun. Rusli selalu mengantar dan menjemputku. Ia menaruh perhatian besar kepada kami.
        Disela-sela mengantar dan menjemputku sikap dewasanya terlihat, ia berusaha mencari pekerjaan agar kelak dimasa pensiunku ia bisa menggantikan aku menjadi tulang punggung keluarga. Hari ini Rusli tak muncul-muncul menjemputku. Rasa takut  dan was-was terus memburuku. Aku sangat sayang padanya dan aku tak ingin kehilangan dia. Menjelang sore tiba-tiba ia muncul menghampiriku, lalu memelukku sambil menangis bahagia. Kebahagiaan itu terlihat dari wajahnya, air matanya terus menetes. Ia bersimpuh bersujud dan mencium kakiku sebagai tanda hormat dan baktinya pada diriku sebagai orang tuanya. Dengan tangan gemetar ia menyodorkan map berwarna kuning lalu memintaku membukanya.     
        “Pak, Rusli diterima sebagai PNS !” dengan mata  berbinar-binar ia menatapku tajam.
       “Alhamulillah, anakku kamu berhasil”, aku bahagia mendengarkannya. Rusli pun memelukku erat dan mencium kakiku. Kami larut dalam kebahagiaan. Hampir 20 tahun sudah Rusli meninggalkan kedua orang tuanya dan hidup bersama kami, kini ia menggeluti pekerjaannya dengan sungguh-sungguh.Karena kecerdasannya ia mendapatkan posisi bagus di kantornya. Saat kami berkumpul bersama keluarga, sesekali aku memintanya.
      “Nak, sebagai orang tua pasti mengharapkan akan kehadiran anaknya”, lalu aku melanjutkan kata-kataku sambil mengelus bahunya.
      “Carilah mereka, dan apapun itu ia tetap orang tuamu yang telah mengandung dan melahirkanmu “, kataku padanya.
      “Pak, aku tidak bisa!” jawabnya menimpaliku.
     “Nak, bapak tidak mau anak-anaknya menderita karena durhaka sama orang tuanya”, jelasku mengingatkannya. Ketika itu pula air matanya terlihat menetes. Saat kuusap air matanya, ia pun bangkit dari bersimpuh. Ia mulai sadar.
      “Sebagai tanda baktiku kepada Bapak, Rusli akan mencarinya!” ia menjawabku dengan tenang.
Tanpa sepatah katapun ia beranjak dari tempat duduknya lalu berpamitan dan pergi. Hari ini adalah hari pertamanya cuti dari pekerjaan. Kini dua minggu sudah ia pergi. Kesepian sangat terasa, rasa sakit yang aku derita semakin menjadi. Masa kritis aku jalani, harapan hidup sudah tidak ada lagi. Aku hanya menunggu ajal menjemput. Rusli datang karena panggilan hati ia pun membawa kabar jika kedua orang tuanya telah lama meninggal akibat timbunan tanah longsor. Kehadirannya di tengah-tengah kami membuat semangatku  untuk sembuh bangkit lagi. Aku begitu bergairah rasa lelah dlam kesakitanku berangsur-angsur pulih.
        “Nak, jaga adik-adikmu, jangan tinggalkan mereka, kamu satu-satunya harapan bapak”, ini kata-kata  yang aku ucapkan ketika menyuguhkanku segelas air putih. Aku melanjutkan pembicaraan.
        “Bapak sudah tua, peran bapak sekarang ada pada pundakmu!” Ia memelukku erat dan memotivasiku.
       “Sekarang Bapak minum obatnya biar lekas sembuh, Insya Allah tahun depan kita bersama-sama menunaikan ibadah haji”, tegasnya penuh perhatian dan memandang kedua adiknya sambil tersenyum..
Hidup kami begitu rukun dan bahagia. Rusli sebagai anakku tak pernah membedakan adik-adiknya. Hingga akhirnya kami bersama mendapat panggilan menunaikan ibadah haji melaksanakan rukun Islam  ke lima. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dan tidak melakukan komentar sara

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Recent Comments