INDAHNYA JIKA SALING BERBAGI, MERIAHNYA JIKA SALING MEMBERI,DAN MANISNYA JIKA SALING MENGHARGAI

Mengenai Saya

Foto saya
sederhana dan kerja keras

Entri Populer

Kamis, 25 Agustus 2011

KENANGAN TAK BERHARGA

Oleh Sudirman, S.Pd.

enam belas tahun sudah waktu kujalani,
menciptakan senyum, cerita, dan cita
diantara cerahnya siang,
dan manisnya waktu,
disini di tempat ini telah kuukirkan cerana piala emas
dan di sini pula telah kujejakkan kaki menata lentera
menyalakan lilin-lilin penerang penyejuk jiwa
yang kusemaikan bagi patriot muda tuk berteduh
tempat menuangkan segala cita
menyemaikan cerita-cerita semangat merah putih,
yang sekian lama menanti dan menunggu cerahnya hati
tapi kini, ditempat ini pula
ditahun keenam belas,
tak satupun bekas kaki lelah terjajaki
tak sepercikpun bekas tetesan tinta tertoreh
dan tak satupun senyuman manis menyentuh
redup, seketika hilang
hilang dan terhapus oleh lentera baru tak tertata
terhempas oleh emosi berkuasa
terbuang oleh jiwa seakan-akan bertahta
dan kini...,
setelah lama merenda hari dan mengusung mimpi
senyum riang, dan cerita indah tak lagi menjadi kebanggaan
tinggal sebuah kisah menjadi kenangan tak berharga.

selamat tinggal .....cerita indah
dan....
selamat tinggal.....kenangan .......

Minggu, 14 Agustus 2011

UU 12-2010 Gerakan Pramuka.pdf - 4shared.com - berbagi-pakai dokumen - unduh - UU 12-2010 Gerakan Pramuka.pdf

UU 12-2010 Gerakan Pramuka.pdf - 4shared.com - berbagi-pakai dokumen - unduh - <a href="http://www.4shared.com/document/SEdKw-mF/UU_12-2010_Gerakan_Pramuka.html" target="_blank">UU 12-2010 Gerakan Pramuka.pdf</a>

Blog Foto: Kumpulan Logo Jambore Nasional Pramuka

Kamis, 11 Agustus 2011

SURAT TERAKHIR

Senja telah berganti malam. Cahaya matahari kian redup, tinggalkan bias yang mengukir warna merah jingga menghias tepi segumpal awan. Lentera raksasa itu telah tenggelam di batas cakrawala, menghilang di balik ombak Pantai Sanggigi yang bergemuruh, berganti cahaya bulan purnama dan gemerlap sinar lampu berwarna warni. Bandar Udara Selaparang mulai sunyi. Hiruk pikuk suara pesawat yang datang dan pergi sejak pagi melalui bandar udara domestik itu tak lagi terdengar. Beberapa orang petugas keamanan dan tukang sapu masih setia menjalankan tugas mereka.
“Pesawat dari Jakarta sudah tiba, Nak?” Seorang kakek yang setia menunggu di pintu kedatangan bertanya kepada petugas keamanan yang melintas di depannya.
“Sudah, dua jam yang lalu,” sahut petugas keamanan itu singkat.
“Lo, saya sudah menunggu di sini sejak sore. Penumpangnya keluar lewat pintu mana?”
“Ya lewat sini, Kek. Ini satu-satunya pintu kedatangan di bandara ini,” sahutnya sambil berlalu.
“Wah, jangan-jangan Imam sengaja mempermainkan aku. Anak itu belum juga berubah!” Gerutu kakek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakek mulai curiga pada Imam, anaknya yang telah menghilang tak tentu rimbanya lima belas tahun silam. Tadi pagi, anak hilang itu tiba-tiba menelepon ke Kantor Kepala Desa. Ternyata ia masih hidup, bahkan ia meminta kakek menunggu kedatangan cucunya di Bandar Udara Selaparang.
Kakek semakin curiga, Imam tak pernah menyebut ciri-ciri orang yang ditunggunya. Yang ia tahu, cucunya bernama Topan. Orang tua itu pun menunggu, hanya dengan rasa percaya diri bahwa cucunya pastilah mirip dengan Imam. Rasa bosan menunggu sedikit terobati oleh iming-iming akan segera bertemu cucu. Mungkin saja kehadiran Topan bisa mengobati luka dan kesedihan setelah lama kehilangan Imam. Namun hingga bandar udara itu lengang, yang ditunggu tak kunjung datang.
Dalam kebimbangannya menunggu, khayalan kakek menerawang jauh ke masa silam. Masa kecil dan masa remaja Imam yang diasuhnya dengan penuh kasih sayang. Ia anak laki-laki beliau yang masih satu rumah dengannya. Saudara laki-laki Imam satu-satunya adalah Taslim, telah berumah tangga dan tinggal di rumahnya sendiri. Imam hidup dan dibesarkan seakan-akan sebagai anak tunggal. Mungkin itu yang membuat Imam tumbuh menjadi anak yang manja namun keras hati. Ia suka membantah dan susah diatur. Apa yang ia inginkan harus selalu terkabulkan. Walau demikian, orang tua dan keluarganya senantiasa bersabar membimbing dan membesarkan Imam.
Kini Imam hanya kenangan dan impian belaka bagi keluarganya. Imam telah pergi entah kemana, hilang lenyap bagai sebutir batu yang dilempar ke tengah danau, tenggelam dan tak pernah timbul kembali. Pupus sudah harapan untuk menjadikan Imam sebagai tulang punggung keluarga kelak. Bagi kakek, lenyapnya Imam jauh lebih menyakitkan dibanding lenyapnya harta. Berbagai cara telah dilakukan oleh keluarga agar Imam mau kembali. Harta bendapun dikorbankan, tapi semua usaha itu sia-sia belaka.
Jika diingat-ingat, kesalahan kakek tidaklah sepadan dengan derita yang kini ia tanggung. Orang tua itu hanya mengingatkan agar Imam tidak saling memberi harapan dengan Baiq Intan, anak tetangga kampung yang menjalin cinta monyet dengan Imam di masa remaja, saat mereka masih sekolah. Saat itu cinta Imam dan Baiq Intan sedang menggebu-gebu, hingga nasehat orang tua pun tak pernah diindahkan. Imam bahkan menganggap orang tuanya terlalu memaksakan kehendak.
“Kita ini kaum jajar karang, Nak. Keluarga kita jelas berbeda dengan keluarga mereka,” kata kakek kala itu.
“Apa bedanya, Ayah? Kita makan nasi, apakah mereka makan emas?” Tanya Imam sengit. Darah mudanya terbakar oleh ketidakadilan yang ia dapatkan. “Tuhan menciptakan manusia sama, mengapa harus dibeda-bedakan?”
“Itulah yang harus kita pahami, Nak. Ini perkara adat, masalah turun temurun yang tak mungkin kita hapus begitu saja. Melanggar undang-undang negara ada hukumannya. Melanggar tata krama adat pun ada sanksinya. Ayah tak ingin dinilai sebagai orang tua yang tak tahu adat,” kata kakek mencoba meredakan gundah gulana yang berkecamuk dalam pikiran Imam.
“Tapi kami saling mencinta, Ayah. Hati kami sudah terpaut menyatu. Apakah ayah tega dengan berdalih menjunjung tinggi adat istiadat, lalu sampai hati memisahkan kami. Mengapa Ayah tega menghancurkan benih-benih cinta yang telah kami bina. Intan sendiri yang berdarah bangsawan tak pernah menganggapku sebagai anak bulu ketujur. Ia memandang kita sama dengan memandang yang lainnya. Ia juga mencintai aku tulus tanpa paksaan,” kata Imam berusaha meyakinkan ayahnya.
“Ayah paham, tetapi keluarga Baiq Intan tak bisa menerimanya. Ayah juga tak ingin kamu menderita pada akhirnya. Semua terserah kamu, jika berani berbuat, tentu harus berani bertangung jawab. Tapi Ayah mohon, sebelum kalian terlanjur melangkah lebih jauh, berkacalah pada pengalaman kakakmu, Taslim yang menikah dengan anak perawan kaum bangsawan. Hingga sudah beranak tiga, belum juga diakui sebagai anggota keluarga oleh mertuanya. Mereka telah dianggap sebagai orang hilang yang tak pernah ada dalam silsilah keluarga. Itu akan berlanjut entah sampai kapan. Cobalah renungkan dalam-dalam dengan pikiran jernih. Boleh saja hari ini cintamu menggebu, tapi dapatkah kamu pertahankan hingga nanti? Sanggupkah kamu menjalani hidup seperti itu? Apalah artinya hidup berumah tangga tanpa restu orang tua?”
Imam tak kuasa lagi berbalas kata dengan ayahnya. Ia tahu ayahnya hanya kaum lemah yang tak berdaya, korban garis tangan dilahirkan sebagai kaum jajar karang. Rasa sakit hati pun harus ia pendam dalam-dalam. Ia menangis tapi air matanya tidak tumpah. Ingin memberontak, tapi tak tahu kepada siapa. Imam mengakui, sesungguhnya semua ungkapan ayahnya tidaklah berlebihan meski sangat sulit ia terima. Daripada berseberangan paham dan berselisih kata dengan sang Ayah, Imam mengambil langkah sendiri. Ia memilih pergi menjauh dari pandangan mata Baiq Intan, membunuh dan mengubur dalam-dalam benih kasih dan rasa cinta yang sedang menggelora pada gadis kecil itu, sekaligus menjauh dari kedua orang tua dan seluruh keluarganya. Memang sakit, namun itulah kisah pahit yang harus dilakoninya.
Sejak saat itu, tak ada lagi berita yang berarti tentang Imam. Di pantai mana ia terdampar, di dermaga mana perahu layar yang ditumpanginya berlabuh, tak seorang pun yang tahu. Ia pergi tanpa sepatah kata pesan. Bekal yang dibawa pun tak ada, membuat ayah dan ibunya selalu dihantui kecemasan. Bagaimana keadaan anak itu di tanah rantau, bahagiakah atau menderita, masih hidupkah atau telah tiada. Konon, pernah sekali Imam bersurat pada Baiq Intan, surat terakhir mengabarkan buah cintanya bahwa ia terpaksa menikah dengan gadis lain.
“Dende Inges,” ungkap Imam dalam surat terakhirnya. “Simaklah dengan telinga batinmu ratap pilu hatiku ini. Tak ada sakit sepedih hati saat surat ini aku tulis. Tingginya Gunung Rinjani, tak setinggi cita-citaku untuk mempersuntingmu, agar bersama seia sekata, hidup dalam mahligai rumah tangga yang kita dambakan. Luasnya Danau Segara Anak tak seluas ruang khayalku, tentang sebiduk kita bersama mengarungi danau cinta yang tak pernah berhenti beriak. Namun Inges, aku berusaha tegar tapi apalah dayaku, anak bulu ketujur nan hina dina ini di hadapan keluargamu. Tidak aku sesali terlahir sebagai orang biasa, tidak juga mendendam dan iri hati atas keberuntungan engkau, terlahir sebagai anak bangsawan yang terpandang. Yang kutangisi; mengapa mencinta ada batasnya, mengapa anak bulu ketujur tak berhak bersanding dengan kaum bangsawan. Aku tak ubahnya pungguk merindukan bulan, mendamba sesuatu yang tak mungkin bisa kugapai. Aku berdiri kebingungan di persimpangan jalan, tersesat dalam pilihan yang sungguh sulit. Aku tak mungkin melawan arus, menentang adat leluhur kita yang konon harus terus hidup dan dipertahankan. Tapi percayalah Inges, tak ada tempat bagi cinta lain di hatiku. Biarlah jasadku ini menjalin hidup bersama orang lain, namun tali jiwa pengikat cintaku tetap tersimpul erat padamu. Kalaulah bibirku bisa tersenyum, namun ketahuilah hatiku yang remuk redam senantiasa menangisi keadaan ini. Aku pun sadar, mungkin inilah nasib yang harus kita jalani, bahwa cinta sejati tak harus memiliki. Apalah artinya saling menunggu, terombang ambing dalam gelombang ketidakpastian. Penantian yang tiada berguna. Bukankah kesempatan untuk bersatu kembali sudah tertutup rapat, jodoh kita telah terpisah jauh oleh jurang adat yang lebar menganga, hanya menyisakan luka hati yang sangat pedih. Dan jika suatu saat kamu bisa melupakanku, aku rela kamu dipersunting orang lain yang sepadan sederajat dengan martabat keluargamu, meski sungguh sakit membayangkannya,” demikian Imam mengakhiri suratnya.
Berita itu membuat jiwa Baiq Intan goncang. Diremasnya surat itu hingga hancur tak terbaca lagi. Betapa luluh jiwanya. Luka hati yang belum terobati akibat kepergian Imam meninggalkannya, kini luka baru kembali menyayat dan mengoyak hatinya. Ia tak percaya kenyataan, tak pernah menduga tambatan jiwanya yang begitu ia bela dan agung-agungkan telah berpaling pada orang lain. Betapa cepat hati berubah, betapa mudah cintanya luntur, semudah saat mengucapkannya. Janji untuk sehidup semati hanya ucapan yang tak mungkin menjadi nyata. Masih terngiang di telinga Baiq Intan suara Imam yang lantang, berteriak mengalahkan debur ombak, bahwa cintanya lebih dahsyat dari gemuruh angin Pantai Senggigi, bahwa keteguhan hatinya lebih kokoh dari batu karang. Namun kini suara itu telah lenyap. Semua alasan Imam dianggapnya sebagai rayuan dan basa basi belaka. Rupanya matahari cinta Imam telah pudar, tertutup gumpalan awan hitam yang enggan berarak pergi. Kini dunia terasa gelap bagai malam saat gulita. Walau demikian Baiq Intan telah bertekad, tak ingin hatinya bergeser seinci pun untuk berpindah ke lain hati. Cinta monyetnya kepada Imam telah menjelma menjadi cinta sejati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Biarlah Imam telah berkhianat, biarlah cahaya cinta kekasihnya itu telah memudar, tapi cinta di hati Baiq Intan tak boleh redup, harus senantiasa menyala laksana matahari yang setia muncul saat malam berganti pagi, memberi sinar kehangatan tanpa pamrih pada bumi dan seisinya. Pemuda sederhana, anak bulu ketujur itu justru membuat ia mati rasa. Betapa dalam perasaan cintanya, hingga tak ada ruang sedikit pun di hatinya bagi pemuda lain dari kasta mana pun.
Karena tak sangup menahan derita, Baiq Intan jatuh sakit. Orang tua dan keluarganya berusaha menyembuhkan duka yang dideritanya. Namun dukun dan dokter pun tak mampu mengobati. Nyatalah betapa sulit luka hatinya terobati. Dari hari ke hari tubuh Baiq Intan semakin kurus dan lemas, hingga akhirnya ajal datang menjemput. Rupanya ia lebih rela mati demi tidak menodai ketulusan cintanya pada Imam.

Rabu, 10 Agustus 2011

Cinta yang hilang

Cinta yang hilang
oleh : dirman

Kucoba tulis sebuah kata cinta...
Yang tergantung manis di atas jiwa terbuang...
Tinta pena cinta tertumpah dalam relung hati
Meluluhkan mahkota hati yang terdampar
Melepaskan butiran mutiara kasih diatas permadani sukma

Tak kuasa hati melepas rasa
Mengapit perasaan terbalut kasih sayang
Asa kian menghilang
Terbuang karena perasaan menunggu
Dan menanti hati yang tak mungkin kunjung ada

Jiwa berusaha dan tetap mengejar
Menghampiri butiran-butiran perasaan
Merasuk asmara dalam kisah semu
Cerita-cerita khayalan kian tak berarti
Merobek sukma membakar jiwa terbuang

Goresan makna cinta lambat laun menghilang
Tak terlihat lagi, kata-kata manis sang cinta
Yang pernah ada dan membekas dalam jiwa
Hingga akhirnya terbuang karena kegalauan hati
Menusuk perih ...
Menanti sampai kapan ia kembali
Membalut rasa yang pernah ada
Karena aku masih selalu cinta
Dan tetap untuk cinta

SAUDAGAR BERKAIN PERCA

SAUDAGAR BERKAIN PERCA
Oleh : Sudirman, S.Pd.


Tuhan.....,
Desah napas tubuh-tubuh mungil.. lambat laun kian hampa.
Suara-suara suci hamba kecilmu menghilang seketika..........
Tenggelam dalam larutnya dunia hampa
Tak terdengar kata-kata manis menyelimuti tubuhnya,
Yang terdengar hanyalah hayalan tak berujung

Tuhan, ......,
Mengapa Engkau biarkan
tangan-tangan pengemis berbalut kain sutera merajalela
Dan mengapa pula Engkau biarkan
Kursi raja tergadaikan tangan-tangan berdasi
Hamba kecilmu telah terkorbankan
Jiwa-jiwa kecil terbanggakan hanya untuk mengejar nama
Mengejar kekuasaan
Mengabaikan kemenangan para putera bangsa

Tuhan......,
Isak tangis wajah suci.... mengalir menahan kuasa
Kesedihan terbawa arus keruh air mata dewa
Haruskah kekuasaan akan terus tergadaiakan,
Terjual dan terbeli oleh nyali kecil pencari sisa-sisa duniawi
Hamba-hamba kecilmu menangis sedih.....
Meneteskan air mata suci yang terkorbankan.

Tuhan....,
Mengapa Engkau biarkan hati tak bernyali tertawa,
Berteriak, bersorak tak memiliki harga diri.............,
Menguasai dunia tanpa suara bermutiara hati.
Balutan kain perca bersulamkan benang-benang suram
Telah menghiasi dunia mereka
Tak ada lagi hati emas
Tak ada lagi emosi jiwa berdinding sutera
Dan tak ada lagi asa berkembang menghiasi putera bangsa
Yang ada hanyalah..........................
Kebanggaan ..............
Nama...................
dan kesombongan
“AKULAH PEMIMPINMU yang MAMPU”

Tuhan, ....
maafkanlah hamba kecilMu...
Dalam hati kecil wajah-wajah mungil
Hanya mampu tertawa lirih
BUKANKAH ENGKAU.....
“ PENGEMIS BERKAIN SUTERA PEMBELINYA”

Recent Comments